Posted by: katabuku | April 23, 2008

Alkitab Di Dunia Modern

Penulis: James Barr; Penerbit: BPK Gunung Mulia 1995

Beberapa waktu belakangan ini dunia perbukuan Indonesia dimarakkan oleh terbitnya buku-buku yang mengulas injil-injil non-kanonik dan penemuan teks-teks kuno yang berkaitan langsung maupun tak langsung, atau sekadar dikait-kaitkan, dengan teks-teks Alkitab. Tanggapan publik pembaca pun beraneka ragam. Ada yang tenang-tenang saja; ada yang kritis namun terarah secara positif; ada pula yang mencak-mencak. Semua tanggapan itu wajar saja. Karena eksistensi Alkitab diakui memiliki tautan erat dengan persoalan beriman. Beriman itu sendiri [telah] dianggap sebagai hakikat sakral dalam diri manusia, yang terhubung dengan realitas ilahi (Supreme Being).

Dalam karyanya ini, James Barr menjelaskan secara padat dan rinci sejumlah isu dan persoalan yang menggayut di sekeliling Alkitab, terutama tentang historisitas teks-teks, proses penerimaan dan adaptasi teks-teks tersebut dalam prinsip-prinsip ajaran gereja, serta tentu saja persoalan tafsir teks dalam konteks masyarakat modern. Pertanyaan-pertanyaan seputar Alkitab diulas pada awal bukunya (pasal I). Sementara pada pasal II, Barr memaparkan beberapa konsep yang memengaruhi perspektif orang Kristen mengenai Alkitab: pengilhaman, firman Allah, kewibawaan dan fungsi. Menurut saya, inilah pilar-pilar argumentasi Barr yang memperlihatkan sikapnya terhadap Alkitab.

“Pengilhaman” menurut Barr tidak identik dengan “ketak-mungkinan-salah”, bahkan sebaiknya dibuang dalam teologi modern. Sebab menurutnya, apakah memang benar bahwa Allah tidak sanggup berkomunikasi dengan manusia melalui teks-teks yang mengandung kesalahan-kesalahan? Pengilhaman juga digunakan dalam bidang kesusastraan. Pengilhaman dalam arti demikian tidak berarti bahan kesusastraan tersebut bebas dari kesalahan historis atau teologis. Istilah pengilhaman di sini lebih mengandung arti keluhuran, pemikiran yang mendalam, dinamika yang mengomunikasikan perasaan dan pengertian (hlm. 28).

Sebagai “Firman Allah”, Barr berkeyakinan bahwa pengarang Alkitab bukanlah saksi-saksi objektif tentang berbagai kejadian yang tidak mengena (relevan) dengan mereka pribadi. Firman Allah itu tidak identik dengan Alkitab. Akan tetapi, Alkitab tetap merupakan jembatan yang mutlak perlu untuk mengantar kita kepada Firman Allah. Seluruh Alkitab merupakan firman manusia yang dipengaruhi oleh berbagai ketegangan, kelemahan dan kesalahan yang melekat pada hasil karya manusia. Namun, dari segi lain, pemberitaan Alkitab tidak imanen dalam kebudayaan manusia dan karena itu Alkitab harus diselidiki dengan metode-metode yang peka terhadap kemungkinan mendengarkan firman Allah itu.

Sementara itu, dalam mencari penjelasan tentang landasan kewibawaan Alkitab, Barr berpendapat bahwa kewibawaan Alkitab sebenarnya tidak terletak dalam Alkitab itu sendiri, tetapi di luar Alkitab. Artinya, kewibawaan Alkitab diperoleh bukan dari hakikatnya sendiri, melainkan dari peristiwa-peristiwa yang diceritakannya. Peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi landasan iman dan keselamatan orang Kristen. Namun demikian, Barr agak keberatan dengan konsep kewibawaan Alkitab. Ia memahaminya sebagai konsep yang tidak cocok dengan struktur intelektual yang menentukan pola-pola teologi modern. Konteks masa kini bukanlah konteks kewibawaan, melainkan konteks oikumene. Teologi masa kini pada prinsipnya adalah teologi pluralistis. Meski membawa beberapa keuntungan, konsep kewibawaan tidak lagi memadai sebagai konsep dasar yang dapat melandasi diskusi tentang peranan Alkitab dalam iman dan hidup Kekristenan.

Pada penjelasan mengenai fungsi, Barr berpendapat bahwa persoalan tentang Alkitab telah terutama menjadi persoalan tentang proses-proses, yaitu: proses-proses manakah yang tepat dalam menafsirkan Alkitab dan proses-proses yang patut dipakai dalam mengaitkan teks Alkitab dengan persoalan-persoalan modern. Proses-proses tersebut dapat dijelaskan sebagai fungsi-fungsi yang dijalankan oleh oknum-oknum tertentu dalam tugasnya berkenaan dengan Alkitab. Misalnya, fungsi para ahli sejarah, fungsi para ahli teologi alkitabiah, fungsi para ahli teologi sistematika, fungsi para pengkhotbah, dsb.

Dalam uraian selanjutnya, James Barr menghadapkan keempat pilar tersebut dengan benturan-benturan yang terjadi dalam konteks masyarakat modern seputar Alkitab. Sejauh mana Alkitab menjadi “norma” akan nampak dalam hubungannya dengan konsep teologi. Bagi Barr, pengenaan norma skriptura itu dapat berfungsi secara lebih positif serta aktif ketika norma itu memainkan peranan sepanjang proses berteologi, dengan menguji tiap-tiap unsur, sewaktu unsur tersebut sedang dipikirkan. Norma tersebut ikut memberi petunjuk tentang urutan unsur-unsur yang harus dibahas, dan tentang kategori-kategori yang dapat digunakan, serta kaitan antara kategori dengan kategori.

Buku ini sejatinya hendak membawa kita pada persoalan-persoalan mendasar mengenai proses memahami pesan Alkitab dalam suatu konteks ruang dan waktu yang berubah. Atau yang oleh Barr diperhadapkan sebagai “masyarakat modern”. Saya melihat bahwa konsep modern menurut Barr ini masih mengandung absurditas yang perlu dikerangkai dalam struktur berpikir yang lebih global. Artinya, modernitas tidak dipahami dalam kerangka pikir masyarakat Barat dengan pendekatan yang teknis-mekanis, tetapi dipahami sebagai berkembangnya kesadaran-kesadaran baru untuk mencermati dampak berbagai perubahan saat ini bagi kemanusiaan dan religiositasnya. Menempatkan Alkitab dalam dunia modern, tidak begitu saja terpahami sebagai polarisasi “kitab tua” dan “aktualitas” sastrawinya. Betapapun, Alkitab mempunyai tempat yang unik dalam iman kristiani, yang karenanya mesti diakui pula telah memberi spirit untuk bertahan dalam gerak zaman dan perubahan sosial. Bagaimana kita – yang hidup di abad ini – memahami Alkitab? Silakan menemukan jawabnya bersama James Barr.

Steve Gaspersz


Leave a comment

Categories